Rabu, 01 Juni 2011

“Refleksi Perkuliahan Terakhir Filsafat Pendidikan Matematika” Oleh Bapak Marsigit

Filsafat membicarakan semua yang ada dan yang mungkin ada. Tidak terlepas dari kelancangan filsafatku sehingga aku berani membicarakan hakikat dengan orang yang dimensinya di bawah kita sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai ketidaksopanan. Terlebih jika kita membicarakan hakikat dengan orang yang dimensinya di atas kita maka bisa dianggap salah ruang dan waktu. Kedua hal tersebutlah yang menjadikan timbulnya kelancangan filsafatku. Kemarahan dari filsafatku hingga dimana-mana senantiasa melontarkan filsafatku. Seharusnya kita mampu menempatkan diri kita sehingga hal yang demikian juga menimbulkan adanya arogansi atau kesombongan dari filsafatku sehingga berani bicara di luar kapasitas yang dimiliki. Setiap apa yang ingin kita raih perlu adanya perjuangan, senantiasa ada dampak dan resiko sehingga perlu dikelola setiap resiko, harapan dan tantangan.

Pendidikan karakter tertinggi adalah melalui normatif dan spiritual. Transformasi dunia memberikan penafsiran yang berbeda. Keadaan dikatakan miskin jika memiliki uang sedikit tetapi sedang banyak program. Sedangkan keadaan dikatakan kaya jika memiliki banyak uang tetapi tidak ada program sama sekali. Timbul penafsiran yang berbeda lagi antara pelit dengan dermawan. Berniat memberikan uang receh kepada pengamen saat lampu merah ternyata juga dapat menggangu aktivitas lainnya ketika lampu menyala hijau. Akan tetapi, ketika kita tidak memberikan uang kepada pengamen dengan alasan takut terkena macet justru dikatakan pelit. Seringkali timbul hal yang berbeda penafsiran dalam filsafatku. Transformasi meliputi segi material, formal, normatif, dan spiritual. Segi material manusia harus senantiasa mengalami perubahan, tetapi jika berlebihan hal tersebut juga berbahaya terlebih ketika memiliki pengikut dan dimitoskan kemudian dibukukan maka orang dapat menganggapnya sebagai kitab suci. Oleh karena itu akan ada dimensi jarak antara pikiran dengan hati, normatif dengan spiritual.

Pendidikan saat ini mengacu pada standar isi, sedangkan sesungguhnya mengikuti standar isi tidak memberikan kenyamanan seolah-olah istilah standar isi sebagai product yang sesungguhnya objek matematika itu adalah dinamis. Istilah standar isi lebih nyaman jika disebut dengan trajectory of teaching learning of mathematics, strengh of mathematic education. Di balik standar isi termuat kesombongan dan proyek dengan segala akibatnya. Standar isi tidak lagi sesuai dengan hakikat matematika sekolah ataupun psikologi beljar siswa.

Pembelajaran matematika mengaitkan adanya hubungan antara idealisme dan abstraksi. Perlu adanya pengembangan karakter dalam pendidikan matematika dari semua yang ada filsafatnya melalui pembuatan RPP, LKS, metode, ataupun strategi pembelajaran ada filsafatnya. Oleh karena itu, kembali pada diri kita masing-masing seberapa jauh diri kita mampu mengembangkan perspektif filsafat untuk pembelajaran matematika. Siswa yang ada, siswa yang mengada dan disinilah siswa berperan sebagai subjek. Seorang guru bisa menstransformasikan dunia dari suatu soal ke soal lainnya, dari rumus satu ke rumus lainnya. Setinggi-tingginya filsafat belajar matematika adalah jika sampai pada keadaan dan pada akhirnya siswa sendirilah sebagai matematika. Belajar matematika adalah sebagai seorang researcher (peneliti) matematika sesuai dengan dimensinya. Paradigma yang menunjang adalah konstruktif dimana mereka dapat membangun sendiri matematikanya sehingga diperoleh siswa adalah matematika.

Di dalam matematika sekolah juga memuat apa sesungguhnya filsafat itu sendiri. Penerapan filsafat dalam pembelajaran matematika yakni ax2+bx+c=0 yang tidak lain adalah intuisi dua dalam satu yang artinya ketika menulis bx kita lebih mementingkan bx tetapi juga lebih memikirkan ax2. Ketika menuliskan c fokus pada c tetapi masih mengingat ax2+bx=0 dengan kata lain ada sesuatu yang berjalan. Sesungguhnya dibalik ax2+bx+c=0 memuat filsafat yang artinya konsumsi orang dewasa. Jika A dibagi dengan tak hingga akan sama dengan nol berarti tak hingga dimaknai agar senantiasa memohon ampun terus-menerus kepada Tuhan. Permohonan yang terus-menerus belum cukup sehingga harus ditambah dengan keikhlasan sehingga diibaratkan dengan x pangkat nol sama dengan satu, dimana nol dimaknai sebagai suatu keikhlasan dan satu dimaknai dengan kebesaran Tuhan.